Pengikut

Cari

08 Januari 2010

In Memoriam Bu Tiar

Nama suaminya pak Bahtiar, makanya dia dipanggil Bu Tiar. Sosoknya nggak ada yang istimewa, biasa saja sama seperti ibu-ibu yang lain. Berperawakan sedang, berkulit putih, gerakannya lincah dan gesit , dia tidak pernah marah selalu tersenyum dan tertawa. Di mataku bu Tiar sangat istimewa.
Akan aku ceritakan awal perkenalanku dengan Bu Tiar. Waktu itu di tahun akhir tahun 2006, aku baru saja melaksanakan Sertijab langsung mendapat tugas untuk menjamu tamu bintang satu dari Jakarta. Sebagai pejabat baru, bingung dan panik pastilah ini tugas pertamaku yang pasti akan jadi sorotan, kredibilitasku di mata atasan dipertaruhkan disini. Langkah pertama yang aku ambil adalah mengumpulkan seluruh istri perwira dan merencanakan untuk membuat suatu tim kecil. Dari rapat kecil itu tercetuslah nama Bu Tiar, semua merekomendasikan nama Bu Tiar. Waktu itu aku tidak tahu pasti siapa dia, yang aku tahu bu Tiar adalah salah satu anggotaku. Tanpa banyak tanya aku Acc Bu Tiar dilibatkan dalam Tim kecil kami walaupun dia bukan istri perwira. Dan ternyata malam itu acara berjalan lancar dan sukses, tidak ada teguran tapi pujian. Dan semua tidak lepas dari peran Bu Tiar, dia bergerak sangat lincah dan gesit, tanpa banyak instruksi yang aku berikan Bu Tiar sudah tahu apa yang harus dia kerjakan. Dia bekerja dengan sangat cepat dan rapi, pantas semua orang merekomendasikan dia.
Hari-hari berikutnya aku mulai mengenal Bu Tiar, dia istri seorang tamtama berpangkat Kopral dengan 4 orang anak. Bu Tiar belum genap 40 th tp dia menjadi anggota persit dalam usia yang masih sangat muda 16 th..!! Artinya dia sudah lebih 20 th bergabung di Persit. Sejak perkenalanku dengan Bu Tiar, hampir dipastikan Bu Tiar selalu aku libatkan dengan berbagai kegiatan Persit. Aku kagum dengan cara kerjanya, dia tidak akan berhenti bekerja sebelum semua pekerjaan selesai secara tuntas. Kebetulan kami tinggal di daerah terpencil, tapi justru itu kami sering mendapat kunjungan tamu dari pusat. Alhamdullilah semua itu dapat aku lewati dengan baik. Bu Tiar adalah salah satu andalanku, saat kami semua sudah kelelahan, Bu Tiar tetap bersemangat menyelesaikan semua tugas dia tidak akan berhenti sebelum semua beres. Dia bahkan tidak lupa untuk memikirkan hal-hal yang kadang tidak sempat aku pikirkan. Seperti halnya, disaat aku sibuk kadang aku lupa dengan diriku sendiri dan keluargaku. Tapi Bu Tiar tidak, dia selalu menyempatkan untuk memikirkan aku, anakku dan suamiku. Bukan itu saja dia juga selalu peduli dengan teman-teman yang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri. Ternyata semua orang di asrama kami sangat tergantung dengan Bu Tiar, tidak peduli apa pangkat suaminya. Setiap ada acara dirumah anggota , mereka selalu melibatkan Bu Tiar, dari mulai belanja, memasak, penyajian, hantaran bahkan sampai apa yang harus dibagikan bagi orang-orang yang membantu, tidak luput dari perhatian Bu Tiar. Itulah keiistimewaan Bu Tiar, dia selalu siap membantu siapa pun apakah itu atasan, teman-teman, bawahan, saudara bahkan masyarakat sekitar yang bukan siapa-siapa. Begitu tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. Bu Tiar tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum, tertawa dan tidak banyak bicara. Sebenarnya tidak hanya di lapangan saja, di organisasipun tugas persit yang aku berikan ke Bu Tiar selalu dia kerjakan dengan cepat dan tuntas. Bagiku bu Tiar adalah ibu Persit teladan,walaupun dia tidak pernah menjadi ketua maupun ketua seksi, karena pangkat suaminya. Tapi dia sangat memahami setiap tugas di dalam Persit. Dia juga tidak pernah melupakan keluarganya, anak-anaknya terpelihara dengan baik, rumahnya selalu bersih dan rapi, bahkan aku pernah memberikan penghargaan pada rumahnya sebagai rumah terbersih dan rapi ( setiap bulan aku memberikan hadiah bagi rumah yang terbersih dan rapi, tujuannya agar anggota terpacu untuk membersihkan rumah ) Disaat tidak banyak kegiatan Bu Tiar membuat kue untuk dijual di asrama, dan aku angkat jempol untuk kreatifitasnya ini bahkan aku dorong terus dia untuk berwirausaha. Kopral Bahtiar adalah orang paling beruntung karena mempunyai istri seperti dia. Semua pekerjaan rumah tangga dia selesaikan tanpa melibatkan suami, pak Tiar tinggal terima beres. Bagiku itu luar biasa....
Tidak itu saja, karena seringnya bu Tiar mendampingi aku dalam berbagai kegiatan di Makassar. Ibu Kapaldam sangat terkesan sehingga Bu Tiar pun sering mendapat hadiah dari beliau karena melihat cara kerjanya yang cepat, tepat dan tidak banyak bicara .
Setelah aku beralih tugas dan tidak lagi tinggal di Sambueja Bantimurung Maros, setiap ada kegiatan gabungan di Makassar aku masih sering bertemu dengan Bu Tiar. Masih tetap sama dia masih penuh perhatian pada keluargaku. Dia sering mengirim makanan kesukaan anakku Tegar, menanyakan kabar keluarga. Tapi setahun lalu tepatnya tahun di awal tahun 2009 aku dapat kabar tidak enak, Bu Tiar di vonis sakit kanker mulut rahim stadium 2 dan harus dikemoterapi. Aku bergegas ke rumah sakit dengan sedih, tapi ketika aku bertemu dengan Bu Tiar tak sedikitpun raut sedih diwajahnya, harusnya hari itu aku yang menghiburnya tapi justru dia yang menghiburku dengan segala ketegaran di hatinya. Luar biasa.....!!!
Sejak kemoterapi yang pertama itu aku mulai jarang bertemu dengan Bu Tiar, dia lebih sering di Jeneponto tinggal dengan keluarga besarnya. Meskipun beberapa kali aku masih sempat bertemu dengannya, memang badannya semakin kurus tapi tetap tersenyum dan ceria. Tapi di bulan desember 2009 Bu Tiar masuk RS lagi, ketika aku menjenguknya dia tetap tersenyum meskipun seluruh tubuhnya membengkak karena sel-sel kanker sudah mengerogoti ginjalnya. Dan malam itu aku ngobrol banyak dengan Bu Tiar agar dia tetap semangat seperti biasanya dan tak lupa untuk selalu berdoa. Tapi hari itu menjadi hari terakhirku mengobrol dengan Bu Tiar, karena 2 hari kemudian Bu Tiar koma dan tidak pernah sadar selama 12 hari. Bahkan ketika aku kembali menjenguknya, mengajaknya bicara, menangis di sampingnya Bu Tiar tetap tidak bergerak hanya matanya sempat bergerak-gerak ketika aku bicara. Akhirnya saat itu pun tiba Bu Tiar dipanggil menghadap Nya, tepat disaat negeri ini berkabung kehilangan tokoh besarnya Gus Dur. Disaat negeri ini mengibarkan bendera setengah tiang, akupun mengibarkan bendera setengah tiang di hatiku. Bu Tiar sudah pergi meninggalkan kami semua, dia adalah guruku dalam kehidupan ini. Dari Bu Tiar aku belajar banyak tentang ketulusan, kesetiakawanan dan keikhlasan. Bu Tiar memang bukan siapa-siapa , dia bukan tokoh besar seperti Gus dur tapi walaupun kini Bu Tiar telah pergi , semangatnya masih tetap hidup di hati orang-orang yang pernah mengenalnya.
Selamat jalan Bu Tiar... aku yakin saat ini engkau berada di tempat yang istimewa di sisiNya sesuai dengan amal perbuatanmu..... ( Medio akhir tahun 2009)

0 komentar:

Posting Komentar